Jumat, 28 September 2012

KURANG PEDULINYA MASYARAKAT PADA NASKAH KUNO

Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki banyak sejarah peradaban dan kebudayaan yang cukup berfariasi—yang terus mengalami perubahan sesuai dengan pola pikir masyarakat. Di antara peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa naskah kuno atau manuskrip. Orang awam menyebutnya sebagai buku kuno biasanya kondisi buku tersebut sudah kumel, warna kuning kecoklatan, bersifat anonim, dan banyak bagian lembaran sudah hilang atau sobek, walaupun ada juga yang kondisinya masih utuh.

Naskah kuno itu merupakan salah satu warisan budaya lelulur kita yang ditulis tangan di atas kertas (impor dari eropa), lontar, tumbukan kulit kayu (deluwang atau kertas jawa) kemudian orang yang ingin memiliki naskah tersebut dan mendalami isinya diperbanyak dengan cara menyalin secara pribadi.

Karya tulis nenek moyang kita itu—yang berupa naskah kuno diindikasikan banyak menyimpan berbagai puspa ragam isi, diantaranya; pengobatan herbal, perdukunan, cerita pada zamannya, hukum adat, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), biatan tariqat, doa, syair, dan sebagainya. Naskah kuno tersebut, juga mengandung sebuah nilai-nilai yang dapat dipetik, berupa nilai moral, kepemimpinan, amar ma’ruf nahi mungkar atau dinrang pratidina, seharwan pasaman (sabar dan sareh), dan ajaran tasawuf. Di sisi lain manfaat lebih yang dapat ambil dari mempelajari naskah kuno, antara lain dapat menggali sumber-sumber dari masa lampau untuk menemukan kepribadian bangsa sendiri dalam arus perkembangan masyarakat pada saat ini. Dengan demikian, naskah kuno bisa dijadikan suatu jembatan bagi pemikiran masa lampau dengan pemikiran masa kini.

Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Konsep tersebut jelas kedudukan naskah kuno lebih ada tingkatannya, bukan hal yang remeh dan akhirnya dibakar, tetapi kenyataan lapangan jauh berbeda terhadap nilai dan kegunaan suatu naskah.

Menurut hemat penulis selama study lapangan, naskah kuno yang ada di Jombang kondisinya sangat memperihatinkan, pada awal tahun 2010 penulis mencoba menelisik naskah Panji Asmoro di kecamatan Mojowarno, ternyata naskah tersebut sudah dibakar oleh pihak kedua (anak), beranggapan barang (naskah) wus elek, tidak berguna, dan tidak bisa membaca. Padahal tiga tahun yang lalu naskah itu masih ada, data tersebut penulis peroleh dari pihak pembakar naskah, alasan pemusnahan naskah karena pemilik naskah sudah meninggal dunia.

Kasus kedua, penulis ambil di kecamatan Ngoro Jombang sebuah naskah dari lontar tersimpan di dalam bumbung (bambu) diduga hilang diambil seseorang karena kurang pedulinya pihak pemilik naskah. Menurut pemiliknya, naskah itu dari Surakarta antara pemilik dengan pihak abdi dalem keraton Surakarta dalam silsilahnya masih ada ikatan saudara.

Kedua contoh tersebut merupakan sebuah dilema. Disatu sisi kita sebagai orang yang mencintai budaya bangsa Indonesia merasa kehilangan, di sisi lain karena lambannya kita dalam memberikan proses pencerahan kepada masyarakat akan manfaat lain dari naskah kuno itu sendiri.

Tragedi semacam itu tak berhenti sampai disini, kesedihan penulis datang dari para kolektor di Pare Kediri, sebuah naskah cerita berbentuk prosa (bunga rampai) beraksara jawa warisan dari Kanjeng Jombang kondisinya sudah berlubang dan sobek. Ada juga naskah bercerita Angling Darma (menggunakan tinta mas), Layang Ambiyo, tiga naskah bunga rampai (ilmu tauhid, pengobatan, doa nurbuat), dan beberapa naskah lain yang kondisinya kurang perawatan dari pihak pemilik.

Sebulan yang lalu penulis juga meneliti di kecamatan Ngoro Jombang dari kolektor naskah pribadi, menemukan naskah Aji Saka Versi Islam (pegon, 17 x 21 cm), dua naskah bunga rampai (pengobatan, doa, herbal, silsilah tariqat, tauhid, biatan tariqat, ilmu perdukunan), naskah tauhid, Al-Qu’an bertuliskan tangan. Kesemua naskah tersebut kondisinya kurang perawatan, berakibat lembar naskah bagian pojok kanan banyak yang sobek (antara 0,5 – 2 cm), berlubang, dan teks isi antar lembar tidak saling korelasi, diperkirakan lembar naskah banyak yang hilang.

Tidak hanya sampai di sini, penulis juga menemukan Syi’ir Nabi (pegon, 11 x 17,5 cm), dua naskah beraksara jawa kuno, dan beberapa kitab kuno berbahasa arab (terdapat cap watermark) tepatnya di kecamatan Bluluk Lamongan. Kesemua naskah tersebut kondisinya perlu segera mungkin mendapatkan perawatan khusus, karena sudah mulai terkena bubuk.

Sederetan kasus tersebut merupakan fenomena besar, sebenarnya banyak kasus lain yang belum terungkap tentang pernaskahan di masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat yang sadar terhadap kondisi seperti itu segera bertindak untuk menyelamatkan naskah kuno dengan jalan digitalisasi dan deskripsi naskah. Setelah melakukan digitalisasi kemudian hasil jepretan foto di buka melalui program windows photo gellery (komputer) atau program lain dan di print out, maka akan menemukan hasil yang maksimal dari kerja digitalisasi. Foto copy bukanlah alternatif untuk konservasi (menyelamatkan) naskah, malah berakibat pada rusaknya naskah itu sendiri karena dapat merusak jilidan dan efek dari sinar foto copy akan mengurangi usia kertas dan ketajaman warna tinta. Sehingga ada sesuatu yang konyol dan cela apabila seorang filolog atau dosen—menyuruh mahasiswanya untuk memfoto copy naskah kuno yang berada di masyarakat. Alasan tidak berdasar kalau keterbatasan dari kamera digital itu sendiri untuk melakukan digitalisasi naskah, karena banyak petugas cetak foto yang menyediakan jasa penyewaan kamera dengan ongkos super murah.

Dapat dibayangkan, apabila naskah kuno tidak dirawat dengan cermat, maka berakibat pada hancur dan tidak bernilainya lagi sebagai sumber budaya. Menurut Edwar Djamaris (2002), naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkan saja. Naskah itu baru berharga apabila masih dapat dibaca dan dipahami isinya.

Penulis berharap kepada pemilik naskah-naskah kuno (buku kuno) yang ada di masyarakat agar memperhatikan naskah koleksinya secara ekstra karena di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan kita sekarang. Selain itu kondisi pernaskahan kita sudah cukup memperihatinkan, disamping kondisi fisiknya sudah banyak yang rapuh, peminat yang mau menggeluti dan melestarikan sudah mulai berkurang.

Kita sudah sakit terhadap Malaysia dan Singapura gara-gara masalah pemburuan naskah-naskah yang ada di Riau dan sebagian pelosok nusantara. Mereka bergentayangan mencari naskah melayu klasik untuk digondol kenegaranya. Bila naskah yang dikehendaki tidak boleh dibeli, mereka memotretnya. Menurut Al-azhar (2007), naskah-naskah di pedalaman nusantara yang tidak boleh dibeli, mereka melakukan cara dengan proses digitalisasi, kemudian hasil pemotretan itu oleh pihak Malaysia dibuatkan situs tersendiri. Jika orang kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar.

Memang ini sebuah pelajaran bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan dari berbagai aspek ilmu, karena apabila kita ingin maju dan tidak kehilangan stamina untuk hal-hal yang esensial, maka strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar