Menelisik Misteri Sabdo Palon Noyo genggong
Dalam
upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali
dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini
tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk
tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal
penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah
ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan
ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik
memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena
kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu
Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui
di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir
ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164
dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;
ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko
proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji
suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan
Noyogenggong.(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong
tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada
di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane
kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad
raya; padha asung bhekti.(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak
menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba;
raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada
memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi)
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem
trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki
Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane
kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad
raya; padha asung bhekti.(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak
menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba;
raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada
memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu
tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh
kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang
tinggi)
II.Serat Darmagandhul
Memahami
Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan
netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat
tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap
agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya
kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari
pendekatan spiritual dan historis.
Dalam
serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan
penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo
Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari
dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk
meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk
memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan
Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya
Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia
masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah.
Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan
berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng
bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”(“Paduka
sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya),
kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada
bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata
satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka.
… Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya
(Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua
adalah saya, …”)
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng
bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang
kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah
wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”(“Paduka
sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya),
kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada
bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata
satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka.
… Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya
(Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua
adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane
kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”(“…, itulah
asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam
ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang
dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau
“Semar”.
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah
diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane
kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”(“…, itulah
asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam
ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang
dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau
“Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi,
ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar,
nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”(“ Sabdo Palon
menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi,
akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang
meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar,
nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”(“ Sabdo Palon
menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi,
akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang
meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami
tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar
adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa)
untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada
Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum
manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat
tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo
Palon berikut ini :
bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami
tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar
adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa)
untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada
Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum
manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat
tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo
Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah
Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur
paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun
ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi
sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên
ingkang ewah agamanipun, …..”(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini
Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan
hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan
Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja
Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur
paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun
ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi
sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên
ingkang ewah agamanipun, …..”(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini
Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan
hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan
Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja
Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan
di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari
berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun
2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya
perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita,
walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat
toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya,
keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat
mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar
sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam
kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar
sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam
kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar
yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar
yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun
pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên
ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah
Jawi, langgêng salaminipun.”(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya
Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon
adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu
berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên
ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah
Jawi, langgêng salaminipun.”(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya
Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon
adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu
berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu
mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah
dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha
Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur
selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya
nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk
melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan
yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar
sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo,
Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah
dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha
Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur
selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya
nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki
sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge
winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk
melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan
yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar
sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo,
Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon
dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon
menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang
sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon
menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang
sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha,
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa
sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya
hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin
oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa
sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang
mangrêti.”(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang
memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya
hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin
oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang
wêruha marang bênêr luput.”(“….. Sang Prabu diminta memahami,
suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh),
berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan(yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa
melihat benar salahnya.”)
tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang
wêruha marang bênêr luput.”(“….. Sang Prabu diminta memahami,
suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh),
berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan(yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa
melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi)
yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti
datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi
“mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan
dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan
akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di
dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa
mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang
pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan
Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi)
yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti
datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi
“mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan
dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan
akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di
dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa
mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang
pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan
Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging
wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana
banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina
jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah
Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah
sabrang.”(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan
Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa
membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah
seberang.”)
wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana
banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina
jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah
Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah
sabrang.”(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan
Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa
membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah
seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut
guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo
Palon berikut ini.
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang
dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut
guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo
Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo PalonKarena Sabdo Palon tidak berkenan
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan
sabdanya sbb :
berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan
sabdanya sbb :
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula
pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang
Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini
yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus
berpisah.)
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep
gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda
kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula
saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah
Jawa.)
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken
putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili
lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya
hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila
kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta
kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap.
Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh
Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa
segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna
manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa
ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah
datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya
menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang
akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah
kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo
Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu
kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana
lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan
ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.
Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu
kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo.
Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam
kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya
akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda
tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana
lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan
ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi
tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi
yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar
bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam
bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan
(Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua
satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua
satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal,
bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka
17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima
waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap
pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan
angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini
dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya
dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan
menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam
kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh
dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana
turunnya dewa ke bumi (menitis).
tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi
yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar
bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam
bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan
(Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua
satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua
satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal,
bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka
17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima
waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap
pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan
angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini
dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya
dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan
menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam
kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh
dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana
turunnya dewa ke bumi (menitis).
III.SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?
Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhanwasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya
saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo
Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya
mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya,
penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran
secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang
Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang
akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya mendengar nama
ini)
saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo
Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya
mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya,
penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran
secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang
Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang
akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya mendengar nama
ini)
Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang
Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha
(penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”).
Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi
pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti
Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra
Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha
(penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”).
Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi
pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti
Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra
Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa
Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau
dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui
ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi
masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu
dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru
dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”
Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau
dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui
ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi
masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu
dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru
dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih
keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak
yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai
dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan
Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang
masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau
Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian
ke Blambangan.
keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak
yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai
dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan
Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang
masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau
Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian
ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka
1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu
Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem
Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman
dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra
yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit
Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok
Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari,
Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa =
bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa
meninggalkan jasad).
1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu
Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem
Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta
kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman
dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra
yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit
Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok
Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari,
Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain.
Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa =
bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa
meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha,
lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan
dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan
dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
- Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka
saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin
yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan
ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah
keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang
seratus ini, kalah oleh anak baik seorang. - Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani
ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru
prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu
anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut
guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak
(yang mengajar) itu. - Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane
tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara
katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati
dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang
akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan
tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran. - Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut
tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane
patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan,
lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan
mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya
sekedar melihat. - Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang,
ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang,
kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11
)
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar
kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal
didengarkan. - Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang
jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de
mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya
dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa
melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan,
hal yang benar hendaknya diucapkan. - Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang
patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa
mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan
jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula
dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita
yang menahan (menderita) nya. - Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren
ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi
manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya
diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik,
ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin
menanam, tak mungkin tidak akan berhasil. - Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep
matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah
tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
Pilihlah
perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga
masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama
halnya dengan memilih tingkah laku. - Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak,
saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija
aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah
laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina
nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan
laku, begitulah sebenarnya anakku.
KESIMPULAN
Akhirnya bapak Budi Marhaen mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara
spiritual dapatlah disimpulkan :
”Jadi yang dikatakan “Putra Betara
Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu
Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh
Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo
Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
spiritual dapatlah disimpulkan :
”Jadi yang dikatakan “Putra Betara
Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu
Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh
Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo
Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu
Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari
tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu
saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat
sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan
mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi
spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada
”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah
diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara
Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik ”seseorang” itu
ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau
Dang Hyang Nirartha, yaitu : Pusaka Oumyang Majapahit (lambang Daya Atman) dan
Pusaka Sabdo Palon (Ki Rancak - lambang Daya Rohul Kudus). Pusaka tersebut
merupakan kata sandi (password) berkaitan dengan hakekat keberadaan
Pura Rambut Siwi sebagai pembuktiannya.”
tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu
saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat
sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan
mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi
spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada
”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah
diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara
Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik ”seseorang” itu
ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau
Dang Hyang Nirartha, yaitu : Pusaka Oumyang Majapahit (lambang Daya Atman) dan
Pusaka Sabdo Palon (Ki Rancak - lambang Daya Rohul Kudus). Pusaka tersebut
merupakan kata sandi (password) berkaitan dengan hakekat keberadaan
Pura Rambut Siwi sebagai pembuktiannya.”
Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur
nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama
ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat
yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami
isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan
kapasitas keilmuan masing-masing orang.
Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur
nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama
ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat
yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami
isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan
kapasitas keilmuan masing-masing orang.
Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa ini
memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan
langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun
nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura
misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar.
Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan
sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya
bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup)
sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat
menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika
seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar
yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak
menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa
disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar
Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan
”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat
inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase
tersebut.
memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan
langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun
nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura
misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar.
Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan
sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya
bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup)
sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat
menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika
seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar
yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak
menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa
disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar
Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan
”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat
inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase
tersebut.
Hakekat Satrio Piningit menurut pandangan bapak Budi Marhaen adalah sosok
seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang tidak menyebarkan
”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa
membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar
sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang
sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam
dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man
arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum
mengenal Allah).
seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang tidak menyebarkan
”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa
membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar
sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang
sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam
dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man
arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum
mengenal Allah).
Sehingga kembali dalam konteks ”Satrio Piningit” yang sejatinya adalah Sabdo
Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu : ”Di
balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa untuk
mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0 dan 1
adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La
ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).
Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu : ”Di
balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa untuk
mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0 dan 1
adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La
ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).
Dalam konteks ini bapak Budi Marhaen mengungkapkan rahasia sandi tersebut
(mbabar wadi) berdasarkan fenomena spiritual yang ditemuinya berkaitan
dengan sandi-sandi rahasia di dalam karya warisan leluhur nusantara :
(mbabar wadi) berdasarkan fenomena spiritual yang ditemuinya berkaitan
dengan sandi-sandi rahasia di dalam karya warisan leluhur nusantara :
Jadi, Satrio Piningit (SP) adalah :
- seorang Satrio Pinandhito (SP)
- yang sejatinya adalah Sabdo Palon (SP)
- berlaku sebagai Sang Pamomong (SP)
- dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP)
- pemegang pusaka Sabdo Palon (SP)
- berada di Semarang Pinggiran (SP)
- tepatnya di daerah Semarang Podorejo (SP)
- dimana terdapat Sendang Pancuran (SP)
- dengan nama Sendang Pengasihan (SP)
- dan Sendang Panguripan (SP)
Jika memang mendapatkan ridho dan hidayah Allah, maka beruntung jika dapat
menjumpainya. Setidaknya inilah jawaban dari apa yang telah diungkapkan oleh
bapak Budi Marhaen berkaitan dengan misteri ”Semarang Tembayat” yang tertulis di
dalam Serat Musarar Joyoboyo. Dibukanya misteri ini berkaitan dengan Sarasehan
Spiritual : Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, di Semarang pada tanggal 20
Desember 2007 yang telah mencanangkan topik : ”REVOLUSI AKBAR SPIRITUAL
NUSANTARA”. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara terkuak.
menjumpainya. Setidaknya inilah jawaban dari apa yang telah diungkapkan oleh
bapak Budi Marhaen berkaitan dengan misteri ”Semarang Tembayat” yang tertulis di
dalam Serat Musarar Joyoboyo. Dibukanya misteri ini berkaitan dengan Sarasehan
Spiritual : Jalan Setapak Menuju Nusantara Jaya, di Semarang pada tanggal 20
Desember 2007 yang telah mencanangkan topik : ”REVOLUSI AKBAR SPIRITUAL
NUSANTARA”. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara terkuak.
Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak
manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek
moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah
carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga
Allah ridho. Amin.
manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek
moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah
carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga
Allah ridho. Amin.
IV Bukti Ramalan pertama Sri Aji Joyoboyo
Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong
mbah sghriwo
Sri
Aji Joyoboyo menetapkan prediksi agama Hindu-Buddha berkembang 1000
tahun di Nusantara beserta kejayaan bagi kerajaan yang memeluk agama
tersebut. Bersamaan perkembangan Hindu-Buddha di Tanah Jawa dan
Nusantara lahir pula seorang utusan-Nya untuk menyebarkan agama Islam
pada 571 Masehi yakni Rasulullah Muhammad s.a.w. yang menerima firman
Allah s.w.t. yang tersusun dalam Al-Qur'an yang mahasuci didampingi
Hadist Nabi yang dimuliakan.
Usai
1000 tahun berkembang Hindu-Buddha di Nusantara maka sudah pada
tempatnya giliran bagi yang lain, yakni akan digantikan oleh Islam
sebagai agama negara bagi kerajaan di Jawa dan Nusantara. Sri Aji
Joyoboyo juga menyatakan Dang Hyang Tanah Jawi Sabdo Palon dan
pendahulunya Noyo Genggong akan murca dari marcapada selama perkembangan
agama Islam, ditandai dengan bangkitnya kerajaan Islam di Jawa. Sabdo
Palon tidak akan mencampuri Islam dan perkembangannya di Jawa dan
Nusantara demi membikin manusianya secara spiritual jadi manusia
sempurna.
Maka
sewajarnyalah, sudah menjadi takdir kerajaan Hindu-Buddha yang gemilang
Majapahit berganti kerajaan Islam pertama di Nusantara Demak. Dan
sayang sekali karena baru berdiri kerajaan Demak yang tidak memiliki
angkatan laut sekuat Majapahit harus berhadapan dengan kekuatan unggul
dari Eropa sehingga hanya dapat sedikit menahan masuknya pelaut
bersenjata Portugis, bahkan Portugis berhasil memasuki Nusantara tanpa
menemui lawan tangguh di medan laut. Dan berturut-turut bangsa Barat
berikutnya Belanda bahkan sangat cerdik untuk mengadu domba
kerajaan-kerajaan sisa Majapahit sehingga saling bertempur satu sama
lain. Selanjutnya Belanda tinggal memetik hasilnya yakni menguasai kedua
belah pihak dalam segala hal, terutama mengandalkan keunggulan kekuatan
laut dan persenjataan maju yang berhasil dikembangkan Eropa, mesiu atau
senjata api mulai ukuran senapan hingga meriam.
Dengan
demikian kekalahan kerajaan Islam atas gempuran bangsa Eropa bukanlah
menjadi tanggung jawab danghyang tanah Jawi Sabdo Palon Noyo Genggong.
Dan andai kata kerajaan Islam atau negara yang menjunjung Islam
memperoleh kejayaan maka itu pun bukan melalui campurtangan sang
pepunden Nusantara tersebut.
Tiap-tiap
masa sebuah kerajaan Nusantara bangkit dan hancur mengalami hal yang
sama dengan siklus bintang. Ada sesuatu yang sangat penting yakni semua
kerajaan di Jawa mengakui Semar sebagai penguasa gaib dari dunia gaib
dengan kemampuan khususnya mengejawantah sebagai manusia biasa selalu
hadir dalam proses jatuh-bangunnya kerajaan. Semar bisa berperan sebagai
abdi, punakawan, dan bahkan penasihat utama negara. Sebagai titah-Nya
tokoh ini pun juga selalu turut hadir bersama jatuh-bangunnya kehidupan
sederhana maupun sebuah pemerintahan rumit dalam kerajaan. Dan
reinkarnasi Semar yang terakhir dalam siklus perkembangan 1000 tahun
Hindu-Buddha ialah Sabdo Palon Noyo Genggong.
Tahun-tahun
pertama perkembangan pesat kehidupan di negara Barat diiringi dengan
Majapahit yang jaya di laut dan di bumi Selatan, sementara Tiongkok yang
berada di bumi Utara adalah pengimbang tatanan politik dunia pada masa
itu. Bumi Selatan ada dalam genggaman Majapahit dan dengan keruntuhan
Majapahit maka tatanan politik dunia menjadi tidak seimbang dan dengan
mudah pula bangsa Barat berkulit putih menjajah bumi selatan mulai
dengan Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan menjadi jalur tanpa ada
penjagaan laut yang kuat.
Kehancuran
Majapahit oleh berkembangnya Islam yang masuk ke Jawa adalah sebuah
siklus sejarah perkembangan kelas, dan perjuangan kelas. Sabdo Palon
Noyo Genggong tahu bahwa Islam harus berkembang di Jawa dan Nusantara
maka dari itu ia bersiap-siap untuk murca dari peranannya mengawal
takhta dalam kurun 1000 tahun terakhir. Dalam sumpahnya, ia akan hadir
kembali dalam jangka 500 tahun, adakah itu mengisyaratkan Islam akan
menemui persoalan rumit setelah berkembang 500 tahun di Nusantara?
"Murcane
Sabdo Palon Noyo Genggong" ramalan Prabu Joyoboyo yang pertama memang
menjadi kenyataan tatkala Raja Majapahit yang terakhir Brawijaya memilih
meninggalkan agama negara sendiri dan memeluk Islam. Dengan sendirinya
Sabdo Palon memutuskan untuk menghilang atau murca dengan cara baik-baik
dari hadapan Sri Brawijaya, "Yang Mulia, kami tidak akan melawan
perkembangan sejarah, sejarah yang terus berkembang maju tak pernah
mundur seinci pun itu, dan di hadapan Yang Mulia maka Kami berjanji akan
kembali kelak di mana bumi manusia mengalami gonjang-ganjing dan
segalanya harus dimulai dari awal lagi. Demi melindungi Tanah Jawa dan
Nusantara serta bumi selatan.Howght!"
demikianlah ucapan terakhir sebagai kata pamit Sabdo Palon. Majapahit
tak pelak lagi meluncur menemui kehancurannya, atas kehendak takdir
sejarah.
Ramalan pertama Sri Aji Joyoboyo
Murcane Sabdo Palon Noyo Genggong
mbah sghriwo
Sri
Aji Joyoboyo memprediksi agama Hindu-Buddha berkembang 1000 tahun di
Nusantara beserta kejayaan bagi kerajaan yang memeluk agama tersebut.
Bersamaan perkembangan Hindu-Buddha di Tanah Jawa dan Nusantara lahir
pula seorang utusan-Nya pembawa Islam pada 571 Masehi di Mecca yakni
Rasulullah Muhammad s.a.w. sang penerima firman Allah s.w.t. tersusun
dalam Al-Qur'an yang mahasuci didampingi Hadist Nabi yang dimuliakan.
Usai 1000 tahun berkembang Hindu-Buddha maka sudah pada tempatnya giliran bagi yang lain, yakni akan digantikan oleh Islam sebagai agama negara bagi kerajaan di Jawa dan Nusantara. Sri Aji Joyoboyo juga menyatakan Dang Hyang Tanah Jawi Sabdo Palon dan pendahulunya Noyo Genggong akan murca dari marcapada selama perkembangan agama Islam berkembang dengan bangkitnya kerajaan Islam di Jawa. Sabdo Palon tidak akan mencampuri Islam dan perkembangannya di Jawa dan Nusantara demi membikin manusianya jadi manusia komplit alias sempurna.
Usai 1000 tahun berkembang Hindu-Buddha maka sudah pada tempatnya giliran bagi yang lain, yakni akan digantikan oleh Islam sebagai agama negara bagi kerajaan di Jawa dan Nusantara. Sri Aji Joyoboyo juga menyatakan Dang Hyang Tanah Jawi Sabdo Palon dan pendahulunya Noyo Genggong akan murca dari marcapada selama perkembangan agama Islam berkembang dengan bangkitnya kerajaan Islam di Jawa. Sabdo Palon tidak akan mencampuri Islam dan perkembangannya di Jawa dan Nusantara demi membikin manusianya jadi manusia komplit alias sempurna.
Maka
terimalah, sudah menjadi takdir kerajaan Hindu-Buddha yang gemilang
Majapahit berganti kerajaan Islam pertama di Nusantara Demak. Dan sayang
sekali karena baru berdiri kerajaan Demak yang tidak memiliki angkatan
laut sekuat Majapahit harus berhadapan dengan kekuatan unggul dari Eropa
sehingga hanya dapat sedikit menahan masuknya pelaut bersenjata
Portugis, bahkan Portugis berhasil memasuki Nusantara tanpa menemui
lawan tangguh di medan laut. Dan berturut-turut bangsa Barat berikutnya
Belanda bahkan sangat cerdik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan sisa
Majapahit sehingga saling bertempur satu sama lain. Selanjutnya Belanda
tinggal memetik hasilnya yakni menguasai kedua belah pihak dalam segala
hal, terutama mengandalkan keunggulan kekuatan laut dan persenjataan
maju yang berhasil dikembangkan Eropa, mesiu atau senjata api mulai
ukuran senapan hingga meriam.
Dengan
demikian kekalahan kerajaan Islam terhadap gempuran bangsa Eropa
bukanlah menjadi tanggung jawab danghyang tanah Jawi Sabdo Palon Noyo
Genggong. Dan andai kata kerajaan Islam atau negara yang menjunjung
Islam memperoleh kejayaan maka itu pun bukan melalui campurtangan sang
pepunden Nusantara.
Tiap-tiap
masa sebuah kerajaan bangkit dan hancur mengalami hal yang sama dengan
siklus bintang. Dan semua kerajaan di Jawa mengakui Semar sebagai
penguasa gaib dari dunia gaib dengan kemampuan khususnya mengejawantah
sebagai manusia biasa. Semar bisa berperan sebagai abdi, punakawan, dan
bahkan penasihat utama negara. Tokoh ini selalu turut hadir bersama
jatuh-bangunnya kehidupan sederhana maupun sebuah pemerintahan rumit
dalam kerajaan. Dan Semar yang terakhir dalam siklus perkembangan 1000
tahun Hindu-Buddha ialah Sabdo Palon Noyo Genggong.
Majapahit
yang jaya di laut dan di bumi Selatan, sementara Tiongkok yang berada
di bumi Utara adalah pengimbang tatanan politik dunia pada masa itu.
Bumi Selatan ada dalam genggaman Majapahit dan dengan keruntuhan
Majapahit maka tatanan politik dunia menjadi jomplang dan dengan mudah
pula bangsa Barat berkulit putih mengkolonisai bumi selatan mulai dengan
Afrika, Amerika Latin, dan Asia Selatan menjadi jalur tanpa ada
penjagaan laut yang kuat.
Kehancuran
Majapahit oleh berkembangnya Islam yang masuk ke Jawa adalah sebuah
siklus sejarah perkembangan kelas, dan perjuangan kelas. Sabdo Palon
Noyo Genggong tahu bahwa Islam harus berkembang di Jawa dan Nusantara
maka dari itu ia bersiap-siap untuk murca dari peranannya mengawal
takhta dalam kurun 1000 tahun terakhir. Dalam sumpahnya, ia akan hadir
kembali dalam jangka 500 tahun, adakah itu mengisyaratkan Islam akan
menemui persoalan rumit setelah berkembang 500 tahun di Nusantara?
"Murcane
Sabdo Palon Noyo Genggong" ramalan Prabu Joyoboyo yang pertama memang
menjadi kenyataan tatkala Raja Majapahit yang terakhir Brawijaya memilih
meninggalkan agama negara sendiri dan memeluk Islam. Dengan sendirinya
Sabdo Palon memutuskan untuk menghilang atau murca dengan cara baik-baik
dari hadapan Sri Brawijaya, "Yang Mulia, kami tidak akan melawan
perkembangan sejarah, sejarah yang terus berkembang maju tak pernah
mundur seinci pun itu, dan di hadapan Yang Mulia maka Kami berjanji akan
kembali kelak di mana bumi manusia mengalami gonjang-ganjing dan
segalanya harus dimulai dari awal lagi. Demi melindungi Tanah Jawa dan
Nusantara serta bumi selatan.Howght!"
demikianlah ucapan terakhir sebagai kata pamit Sabdo Palon. Majapahit
tak pelak lagi meluncur menemui kehancurannya, atas kehendak takdir
sejarah.
Ramalan kedua
"Semut ireng anak-anak sapi"
mbah sghriwo
Marcopolo
penjelajah Italia pada 1292 meninggalkan daratan Tiongkok setelah
bermukim sekian tahun membawa berita dunia menakjubkan bagi benua Eropa.
Duaratus tahun kemudian 1492 Christophorus Columbus juga orang Italia
mendarat di benua milik bangsa Indian Amerika Utara dan mengabarkan
bahwa dunia berbentuk bulat, bundar bola.
Bangsa
Eropa berkulit putih terkenal sangat rajin dan ulet bekerja bagai semut
hitam, dan selalu meminum susu sapi sejak bayi. Mereka mulai gelisah
dan menyiapkan diri dengan kapal-kapal layar kecil gesit dan cepat
begitu mengetahui kabar ada dunia besar lain penuh tantangan
petualangan. Bertahun-tahun mereka perlukan mendesign kapal yang
dipersenjatai untuk mengarungi samudera menemukan dunia baru dalam
rangka mencari bahan mentah baru, dan rempah-rempah dari sumbernya
langsung di dunia Timur atau di belahan dunia lain.
Ramalan Sri Aji Joyoboyo kedua, "semut ireng anak-anak sapi" telah terbukti kebenarannya sejak pertama kali dikumandangkan duaratus tahun yang silam dihitung sejak Marco Polo tiba di Tiongkok bersamaan waktunya dengan berdirinya Majapahit.
Ramalan Sri Aji Joyoboyo kedua, "semut ireng anak-anak sapi" telah terbukti kebenarannya sejak pertama kali dikumandangkan duaratus tahun yang silam dihitung sejak Marco Polo tiba di Tiongkok bersamaan waktunya dengan berdirinya Majapahit.
Majapahit
berdiri 1292 bersamaan waktunya bangsa Eropa mulai memodernisasi
kapal-kapal laut mereka dengan bantuan orang semacam Marcopolo yang
kembali dari negeri Timur terutama Tiongkok dengan membawa cerita hebat
kemajuan teknologi baru dan menerapkannya di Eropa.
Majapahit
dan benua Eropa berlomba membangun kebesaran masing-masing dengan
kapal-kapal laut yang siap bertempur di tengah samudera, Majapahit
berada di balik bumi daripada benua Eropa maupun Amerika. Kelak bangsa
Eropa berhasil memasuki wilayah Majapahit Nusantara tak perlu berperang
menghadapi kekuatan hebat Majapahit karena sedang mengalami konflik
intern yang menghancurkan diri-sendiri dalam perang paregreg. Kekuatan
adidaya di bumi belahan Selatan itu hancur sama sekali sehingga tidak
pernah berkesempatan menghadapi bangsa kulit putih yang datang untuk
menginvasi dunia.
Hindu-Buddha
Majapahit tergusur oleh kerajaan Islam yang tidak memiliki angkatan
laut yang sekuat Majapahit, akan tetapi memiliki angkatan darat yang tak
kalah hebat dengan milik Majapahit. Mereka berhimpun dengan kekuatan
Islam di mana-mana yang siap siaga menghadapi bangsa Eropa Nasrani
dengan kapal perang bersenjata yang sulit ditaklukkan di mana-mana.
Siapa yang lebih unggul dalam pertarungan itu? Konflik perang salib di
Eropa dan perbatasan dengan Asia berpindah ke dunia baru, Asia Selatan,
Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara serta Asia Timur. Pasukan
Tiongkok yang dikirimkan ke perairan Selatan (Nan Yang)
tidak begitu kuat untuk membantu kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara
menahan banjir bandang kapal-kapal orang Eropa. Tiongkok bahkan berperan
dalam merontokkan kekuatan Majapahit sehingga tak ada tameng di
perairan Selatan yang cukup disegani di masa sebelumnya. Kekuatan
Tiongkok lebih dipusatkan untuk menjaga keamanan di belahan bumi Utara.
Sehingga tidak mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan Majapahit.
Paus
Leo X gerah dengan pertikaian sesama bangsa Eropa Nasrani memperebutkan
daerah baru di belahan dunia lain, sudah menjadi kewajiban Sri Paus
untuk mendamaikan hal tersebut dengan mengeluarkan Jus Patronatusatau Padroado pada 1514. Spanyol mendapat bagian berlayar ke Barat dan Portugis mendapat bagian berlayar ke Timur.
Dua
kekuatan Nasrani yang berlayar berlawanan arah ini akhirnya benar-benar
mengelilingi dunia dan bentrok di kepulauan Philipina, Spanyol bertahan
di kepulauan tersebut, Portugis mencelat ke Timor Timur. Dua-duanya
berusaha memantau dan tetap "ndedepi" kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah antara lain pala, minyak kayuputih, dan cengkeh.
Sementara
itu ada sebuah bangsa Eropa lain, semut ireng paling rajin bekerja:
membendung laut untuk dijadikan daratan dan memiliki sapi penghasil susu
paling banyak di daerah Friesland, dan meminum susunya lebih banyak
daripada bangsa lain yakni bangsa Belanda. Cornellis de Houtman mendarat
di Batavia atau Sunda Kelapa pada 1596. Bangsa yang paling rajin dan
tertib administrasinya ini berhasil menguasai wilayah Nusantara dengan
menaklukkan kerajaan Islam dan sisa-sisa pecahan kerajaan Majapahit:
Makasar, Kalimantan, Aceh, Bali, Papua, dan Nusa Tenggara. Inilah
kedatangan bangsa asing yang sudah diramalkan oleh Sri Aji Joyoboyo
limaratus tahun sebelumnya, "semut ireng anak-anak sapi".
Belanda
bertahan menguasai Nusantara selama tigaratus tahun, dan terusir
bersamaan waktunya dengan kedatangan ramalan Joyoboyo keempat, "kejajah saumur jagung karo wong cebol kepalang" alias bangsa Jepang.
Ramalan ketiga
Kebo nyabrang kali
Georgi
Dimitrov salah satu petinggi Komintern atau Komunis Internasional
dituduh oleh pengadilan Jerman Adolf Hitler mendalangi sebuah aksi
kerusuhan membakar reichstaat Jerman. Pokok pangkal inilah Hitler telah
merekayasa tuduhan yang tidak terbukti maka dianggap mengumumkan
genderang perang terhadap komunisme.
Dimitrov
pun memaklumatkan seruan ke seluruh kubu komunis berperang terhadap
fasisme. Maka Jerman menghadapi lawan tangguh negeri-negeri sosialis dan
terutama Sovyet Uni, negeri sosialis pertama di dunia.
Semenjak
krisis ekonomi 1929 Adolf Hitler tampil memimpin Nazi 1933 dan
menggerakkan Jerman dengan fokus utama industri Jerman ialah membangun
kekuatan militer besar-besaran, dan dalam tempo lima tahun 1938 kekuatan
militer yang terkuat di Eropa itu menganeksasi Austria. Sekutu yang
dimotori Inggris dan Amerika Serikat belum mengambil tindakan sampai
Jerman Hitler menyerbu Ceko dengan kekuatan militer besar-besaran
melancarkan dan menguji coba blitzkriegnya yang gemilang. Akhirnya 3
September 1939 Sekutu mengumumkan perang terhadap Jerman. Sementara itu
berturut-turut balatentara Jerman berhasil menaklukkan Prancis dan tak
ketinggalan Belanda, Belgia tunduk pada keperkasaan Jerman.
Dalam
bayang-bayang pasukan Hitler yang menggentarkan itu maka pemerintahan
kerajaan Belanda mengungsi ke Inggris, menyeberangi selat Channel.
Sementara Belanda bergabung dengan Sekutu berperang terhadap Jerman,
negeri jajahan Hindia Belanda atau Nusantara mengambil sikap netral
terhadap Jerman. Hengkangnya pemerintah Kerajaan Belanda mengungsi ke
Inggris inilah yang telah diramalkan oleh Raja Kediri Sri Aji Joyoboyo,
"Kebo nyabrang kali."
Hindia
Belanda terlalu jauh dari pasukan blitzkrieg Hitler di Eropa, akan
tetapi terlalu dekat bagi sekutu Jerman di Timur Jauh yakni Jepang.
Masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada giliran terakhir dalam serbuan
pasukan Negeri Matahari Terbit itu sekali lagi pemerintahan jajahan
seberang lautan Hindia Belanda mengungsi ke Australia. Kebo nyabrang
kali untuk kedua kalinya. Belanda mengungsi karena sudah terlalu kenyang
mengeruk kekayaan di Nusantara, kekayaan itu disetor untuk
mengenyangkan negeri induk Nederland yang terbukti tidak kuat bergerak
menghadapi serbuan Jerman. Sama halnya negeri induknya Hindia Belanda
yang kekenyangan tidak mampu menghadapi pasukan Negeri Sakura yang
beringas masih kelaparan menyedot semua sumber daya alam dan kekayaan
negeri yang ditaklukannya.
Hengkangnya
pemerintah pusat kerajaan Belanda dan juga pemerintahan jajahan
mengungsi menyeberangi lautan itulah yang sudah diramalkan oleh Joyoboyo
raja Kediri delapan ratus tahun yang silam.
Hindia-Belanda
tidak sendirian menghadapi serbuan Jepang, juga Inggris di Malaya,
Singapura, dan pasukan Prancis di Indocina serta Amerika Serikat di
Filipina. Semua saja menyeberangi lautan untuk mengungsi menyelamatkan
ekor sendiri meninggalkan anak jajahan diambil orang lain.
Seekor
kerbau punya hobi mandi di kubangan yang berisi air, apalagi di sebuah
sungai yang melimpah-ruah airnya, ia tidak mungkin mau mentas dan
menyeberangi sungai tanpa alasan yang luarbiasa. Alasan agar seekor
kerbau menyeberangi sungai cuma dengan dipaksa atau terpaksa saja.
Karena kerbau yang sudah kenyang makan dan kenyang berendam di air akan
cenderung bermalas-malasan saja. Dan yang memaksa kerbau Belanda
hengkang ialah kekuatan militer unggul bangsa lain. Sementara kekuatan
militer sendiri tidak siap digunakan menghadapi serbuan dari luar
semacam itu, melainkan hanya dipersiapkan dan digunakan untuk menindas
pribumi jajahan yang tidak bersenjata dan lemah dari segi apapun.
Pasukan militer Belanda punya kemampuan militer hanya sekelas
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Belanda lebih
menggunakan akal yang diwujudkan dengan politik pecah-belah dan
kuasailah. Dan terutama berkat bantuan Pribumi sendiri yang lebih
memilih berpihak pada kekuatan asing.
Pasukan
blitzkrieg Jerman akhirnya gagal menghadapi Tentara Merah di front
Timur dalam daerah Uni Sovyet. Kekalahan di Russia itu menyebabkan
keruntuhan kekuatan Jerman, dan Hitler bunuh diri atau dibunuh oleh
pihak tertentu. Dengan demikian pada akhirnya pasukan militer Jerman
menyerah pada Sekutu setahun lebih dulu daripada menyerahnya kekaisaran
Jepang pada Amerika Serikat karena ledakan bom atom di jantung kota
Jepang yang dijatuhkan dari pesawat militer Amerika Serikat. Sovyet Uni
atau Uni Sovyet yang berada di pihak Sekutu ikut berhak keluar sebagai
salah satu negeri pemenang Perang Dunia Kedua, dunia komunis mendapat
kehormatan dengan keunggulan pasukan Merah Uni Sovyet. Dan anugerah
kemenangan itu juga dipersembahkan bagi petinggi Komintern Georgi
Dimitrov yang gagah berani membela Komintern dan komunisme di depan
pengadilan fasis Jerman Adolf Hitler atas tuduhan palsu hasil kerja
rekayasa intelijen Nazi Jerman dalam mengenyahkan hantu komunis sejagad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar